Wednesday, 8 August 2012

ATA ENDE

Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan yang wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebag
ian wilayah administrasi Kab. Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara aklamasi (Acclamation).
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu tinggal bersama kakaknya Mari Wangge dan Bhoka Logho di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT. Pius Rasi Wangge hadir ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki Hebesani Watuneso). Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah Rakyat (SR) setingkat Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela. Ketika itu pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) tersebut. Kendati demikian usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun. Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian, Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi Wangge berangkat lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat pengakuan kepada ‘Tua Skebe’ bahwa yang akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. (”Dengan sebuah ungkapan” Tua, Ina Aji kai, eo mere mai Ka’e kai !!) Artinya; Pater/Bapa, ini adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia Belanda mempertimbangkan eksistensi administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan menerapkan konsep pemerintahan ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini, pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana Telu Kunu Lima dari Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho.
Pada tahapan pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda bertanya kepada para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat itu dengan kalimat dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? “Laki Tana Unggu penu so”, Aku fonga, Raja leka du’a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini ucapannya; “Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah ‘Unggu’, Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada “Laki Tana Kune Watu Mara (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada ‘Laki’ yang ke 5 dijawab dengan jawaban yang sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe langsung menyapa nama Bhoka Logho. (”Boka” !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya; Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; “Tua, Raja dau leka ata eo sekolah, no’o eo tuli mbe’o soli basa mbe’o sura “. Artinya; Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta membaca surat. Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku fonga Raja leka aji aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR ). Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, ‘Raja’ ada pada adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan di Sekolah Rakyat ( SR ) ‘Lela’ (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja leka aji kai ngai eo tuli no’o basa mbe’o sura). artinya; Bagaimana ? Bhoka mengusulkan, Raja ada pada adiknya karena bisa menulis dan membaca surat. Setelah mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai gharu. Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela Maumere yang sedang duduk di bangku kelas 4 (empat) karena pada waktu itu Pius Rasi Wangge dibesarkan didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia.
Di (sao ria tenda bewa) rumah adat WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia Belanda mempersiapkan acara pengukuhan (Inauguration). Dengan disaksikan oleh para Mosalaki dan Delegasi masyarakat adat “Lise Tana Telu Kunu Lima” akhirnya Raja Lio dikukuhkan (Inauguration) secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1914 sekaligus memberikan legitimasi kekuasaan administratif dibawah pemerintahan kerajaan sehingga kekuasaan Raja Lio Pius Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda saja. Sistem Pemerintahan Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem pemerintahan Hindia Belanda yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut “Monarki Konstitusional”, yang mana kekuasaan raja bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena ada peran lain yang mengatur wilayah kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi Wangge oleh Belanda diberih wewenang untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat berat yaitu menahklukan serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami wilayah itu karena pada masa itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal yang berkepanjangan antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius Rasi Wangge juga ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini berkuasa sejak tahun 1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat di Kupang, ditembak mati oleh tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang. Sementara itu dari versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik oleh tentara Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok “Sugishima Takashi” yang mengklaim diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis melalui ‘tes DNA’ agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari.
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas kedaulatan antara Raja Lio dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius Rasi Wangge) disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu dari Nanga Blo sampai Nanga Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya yang meliputi wilayah Larantuka sampai Mole Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai. Akan tetapi jika dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk menggali lebih mendalam tentang sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan menjadi bahan acuan untuk menyingkap fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih sinkron antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).
Sekian !!
Posted in ENDE LIO | No Comments »
Jejak-jejak Kerajaan Lio (Flores NTT)
Januari 20th, 2011 by marcel
Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan yang wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebagian wilayah administrasi Kab. Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara aklamasi (Acclamation).
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu tinggal bersama kakaknya Mari Wangge dan Bhoka Logho di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT. Pius Rasi Wangge hadir ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki Hebesani Watuneso). Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah Rakyat (SR) setingkat Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela. Ketika itu pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) tersebut. Kendati demikian usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun. Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian, Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi Wangge berangkat lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat pengakuan kepada ‘Tua Skebe’ bahwa yang akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. (”Dengan sebuah ungkapan” Tua, Ina Aji kai, eo mere mai Ka’e kai !!) Artinya; Pater/Bapa, ini adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia Belanda mempertimbangkan eksistensi administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan menerapkan konsep pemerintahan ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini, pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana Telu Kunu Lima dari Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho.
Pada tahapan pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda bertanya kepada para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat itu dengan kalimat dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? “Laki Tana Unggu penu so”, Aku fonga, Raja leka du’a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini ucapannya; “Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah ‘Unggu’, Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada “Laki Tana Kune Watu Mara (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada ‘Laki’ yang ke 5 dijawab dengan jawaban yang sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe langsung menyapa nama Bhoka Logho. (”Boka” !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya; Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; “Tua, Raja dau leka ata eo sekolah, no’o eo tuli mbe’o soli basa mbe’o sura “. Artinya; Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta membaca surat. Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku fonga Raja leka aji aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR ). Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, ‘Raja’ ada pada adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan di Sekolah Rakyat ( SR ) ‘Lela’ (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja leka aji kai ngai eo tuli no’o basa mbe’o sura). artinya; Bagaimana ? Bhoka mengusulkan, Raja ada pada adiknya karena bisa menulis dan membaca surat. Setelah mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai gharu. Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela Maumere yang sedang duduk di bangku kelas 4 (empat) karena pada waktu itu Pius Rasi Wangge dibesarkan didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia.
Di (sao ria tenda bewa) rumah adat WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia Belanda mempersiapkan acara pengukuhan (Inauguration). Dengan disaksikan oleh para Mosalaki dan Delegasi masyarakat adat “Lise Tana Telu Kunu Lima” akhirnya Raja Lio dikukuhkan (Inauguration) secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1914 sekaligus memberikan legitimasi kekuasaan administratif dibawah pemerintahan kerajaan sehingga kekuasaan Raja Lio Pius Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda saja. Sistem Pemerintahan Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem pemerintahan Hindia Belanda yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut “Monarki Konstitusional”, yang mana kekuasaan raja bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena ada peran lain yang mengatur wilayah kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi Wangge oleh Belanda diberih wewenang untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat berat yaitu menahklukan serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami wilayah itu karena pada masa itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal yang berkepanjangan antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius Rasi Wangge juga ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini berkuasa sejak tahun 1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat di Kupang, ditembak mati oleh tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang. Sementara itu dari versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik oleh tentara Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok “Sugishima Takashi” yang mengklaim diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis melalui ‘tes DNA’ agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari.
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas kedaulatan antara Raja Lio dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius Rasi Wangge) disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu dari Nanga Blo sampai Nanga Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya yang meliputi wilayah Larantuka sampai Mole Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai. Akan tetapi jika dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk menggali lebih mendalam tentang sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan menjadi bahan acuan untuk menyingkap fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih sinkron antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).
Sekian !!
Posted in ENDE LIO | No Comments »
BAHASA LIO DAN TATA TULIS
Januari 20th, 2011 by marcel
Menurut Dr. Gorys Keraf mantan guru besar tata bahasa Indonesia. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berupa lambang bunyi suara yang mana dengannya suatu anggota masyarakat dapat bertukar pikiran, ide dan bekerja sama.
Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat vital bagi manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa dipakai untuk menghubungkan perbedaan, persamaan serta berbagai dialektika perabadan dari zaman kuno hingga sekarang. Tanpa bahasa seolah-olah dunia ini terasa gelap gulita.
Bahasa timbul dari kesewenang-wenangan suatu kelompok masyarakat dimana mereka menyetujui akan bahasa yang timbul tersebut. Dalam hidup ini adalah kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Bahasa adalah milik manusia.
Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama umat manusia dengan makhluk hidup lainnya. Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Selain itu bahasa juga merupakan aspek penting interaksi manusia.
Dengan bahasa, (baik itu secara lisan maupun tertulis ataupun isyarat) orang akan melakukan komunikasi dan kontrak sosial. Bahasa juga mencerminkan kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Sedangkan Tata tulis merupakan kaida umum penulisan yang baik dan benar.
Selayang Pandang
Sebelum mengulas lebih dalam, baiknya kita memberikan penghormatan kepada seorang misionaris karismatik bidang Etnolog yaitu Alm. P. Paul Arndt. SVD (Lahir 10 Januari 1886 di Rasselwitz/Schlesia dulu wilayah Jerman, sekarang wilayah Polandia dan wafat 20 Novembar 1962 di Todabelu Mataloko Flores NTT. Beliau adalah sosok yang sangat berjasah karena telah memprakarsai sistem tulis bahasa Lio.
Sistem tulis bahasa Lio ini dimunculkan pertama kali oleh beliau dalam buku “Li’onesisch-Deutsches Worterbuch (Kamus Dwibahasa Lio- Jerman) yang diterbitkan tahun 1933. Secara De facto, tata tulis dalam buku-buku keagamaan yang dipergunakan secara luas seperti Katekismus, Jala da Gheta Surga, dan Injil dalam bahasa Lio karangan Petrus Pora. BA umumnya mengikuti tata tulis yang digunakan P. Paul Arndt. SVD.
Bahasa Lio dan Tata Tulis
Dalam Bahasa Lio, sarana komunikasi dan interaksi suku Lio disebut dengan ‘Sara Lio’. Sara Lio terdiri dari beragam dialek seperti; Dialek Lio-Ende, Mbuli/Nggela, Lise, Mbengu, Mego dan lain sebagainya. Dari semua dialek mengandung penulisan dan pengertian yang berbeda pula. Kendati demikian, sebagai suku yang terbesar mendiami pulau Flores, suku Lio tentunya dapat berkomunikasi dan berinteraksi meskipun mengggunakan dialek yang berbeda. Pada intinya, dalam membangun kultur sosial budaya, Suku Lio tetap menggunakan ‘Sara Lio’ bahasa pemersatu yang dapat mempertemukan perbedaan-perbedaan itu.
Tata tulis “sara lio”
Sampai saat ini belum ada kesepakatan perihal tata tulis bahasa Lio. Karena itu, dalam buku-buku yang diterbitkan Pusat Penelitian Candraditya dan Nusa Indah Ende serta percetakan Arnoldus Ende selalu mengacu dan mempertahankan tata tulis yang digunakan ole Paul Arndt dan disesuaikan dengan penggunaan huruf-huruf dan tanda baca yang mengacu pada Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) sehingga Huruf ‘DZ’ dalam tulisan Arndt diubah menjadi ‘J’. Diperhatikan juga tata tulis yang kini diterima umum diwilayah Lio, sehingga tulisan “VOLO VARU, VATU NESO, VOLO JITA, misalnya, diubah menjadi, “WOLOWARU, WATUNESO, WOLOJITA”.
Kendatipun masing-masing berstatus fonem, namun vocal pepet dan teleng dilambangkan dengan tanda atau huruf yang sama, sebagaimana dalam Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Jika mengacu pada bahasa Indonesia maka dalam bahasa tulis mutakhir, kedua fonem itu juga dilambangkan dengan “e” saja. Tanda trema tidak perluh digunakan. Walaupun demikian, untuk membantu pembaca asing tentu harus menggunakan trema. Patut disampaikan bahwa vocal pepet umumnya tidak didistribusikan pada akhir kata, sehingga penutur asli bahasa Lio serta merta melafalkan huruf “e” diakhir kata khususnya sebagai vocal depan atau teleng, bukan vocal tengah atau pepet. Sudah tentu homografi bagi kedua vocal itu menyulitkan bagi mereka yang bukan penutur asli.
Digunakan pula apostrof /’/ untuk fonem glotalstop. Karena itu tulisan Dua` Nggae` dalam naska paul Arndt diubah menjadi Du’a Ngga’e`. Sementara itu, penulisan fonem implosif tetap mengacu tetap mengikuti tulisan naska Arndt. Berarti tulisan dwihuruf; ” bh, dh, dan gh” tetap dipertahankan hingga kini.
Penulisan kata turunan seperti; leisawe, leidema, leimbeja, demikian juga kata wuamesu, mbokolonggo, nakanio, matakobe, gerugiwa ditulis dalam satu kesatuan grafis, tidak dipisahkan menjadi; lei sawe, lei dema, lei mbeja, wua mesu, naka nio, mata kobe, dan sebaginya. Bentuk-bentuk derivasi dengan formasi “ola dan ata” juga dirangkaikan. Bentuk olakema, olanara, olameko, olatonda, olamuri, olagare, atamata, ataji’e, atafai, atahaki, ataho’o mengandung satu makna.
Sistem silabi (suku kata) juga menjadi acuan dalam pemenggalan kata. Bahasa Lio adalah bahasa vocalis yang struktur katanya dibangun dengan silabi terbuka. Dengan demikian pemenggalan kata; “Longgo” menjadi Lo-nggo bukan Long-go. Nggebha menjadi; Ngge-bha bukan Nggeb-ha. demikian juga dengan pemenggalan struktur kata lainnya.
Menimbang kearifan dan pemikiran briliant yang dipersembahkan oleh Paul Arndt seorang Etnolog Pionir tersebut, ini berarti naska-naska karya Beliau turut mempertegas bahwa Bahasa dan Tata Tulis yang digunakan hingga kini adalah keputusan Final untuk dijadikan mutiara yang paling berharga.
Posted in katedral denpasar | No Comments »
Menggali Mutiara Adat di Desa PEMO, KELIMUTU
Januari 20th, 2011 by marcel
Keindahan alam Kawasan Wisata Kelimutu di Kabupaten Ende-Flores pagi itu bagaikan sedang pulas tertidur. Tak ada satu pun kendaraan yang mengusik ketentraman para penghuni belantara, kecuali dua buah unit sepeda motor yang kami kendarai. Bersama kontributor RCTI, kami melalui jalan berbatu, walaupun beberapa meter jalan dibuat dari rabat beton karena medannya cukup menentang, kami menembusi kabut pagi, menuruni lembah menuju ke selatan. Setelah 1 jam dalam perjalanan dari cabang Kawasan Wisata Danau Kelimutu, tampaklah perkampungan penduduk, di lereng-lereng gunung tampak pula perkebunan warga yang dikelilingi hutan kopi yang sedap dipandang mata. Dikejauhan tampak pula sebuah kampung besar Woloara. Tujuan kami sebenarnya adalah sebuah kampung disebelah Woloara namanya “Pemo”. Kabarnya disana akan diselenggarakan upacara pesta adat Tolak Bala (Joka Ju) selama lima hari.
Derap langkah sepuluh pria, dengan berpakaian adat Luka Lesu, Senai (kain destar dan selendang) para Mosalaki Pu’u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Ulu Eko, Mosalaki Turu Tengu Kana Wara, Mosalaki Tuke Sani Ria Bewa, dan Mosalaki Ine Tana Embu Watu, melaksanakan ritual adat yakni Joka Ju (tolak bala) menolak roh-roh jahat dari kampung “Pemo” agar seluruh masyarakat adat “Pemo” bekerja dengan hasil berlimpah, upacara pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Oktober. Rangkaian upacara tersebut melalui beberapa tahapan seperti mengambil hati babi dalam keadaan hidup-hidup untuk dilihat (meramal) tentang keadaan atau peristiwa yang akan terjadi dikampung mereka, bahkan peristiwa atau kejadian yang akan dialami bangsa dan negara kita seperti gejolak politik dan bencana alam, ujar Mosalaki Pu’u (kepala adat) Gaspar Gasa kepada wartawan Suara Flores dan kontributor RCTI, saat meliputi upacara pesta adat tersebut, Kamis 21 Oktober 2010.




Upacara Pesta Adat Joka Ju (tolak bala) – SF
Dikatakannya dari hati babi yang diperlihatkan dapat diramalkan bahwa Kampung Adat Pemo atau masyarakat Pemo dalam bercocok tanam dan bertani akan mendapat rejeki dan memperoleh hasil yang berlimpah dan semua kehidupan di masyarakat berjalan lancar, sedangkan untuk bangsa dan negara kita diramalkan akan terjadi gejolak politik yang hebat dan bencana alam besar, karena dari hati babi yang diperlihatkan terdapat luka besar ditengah-tengah hati babi tersebut, ujar Kepala Adat Gaspar Gasa, kepada seluruh komunitas masyarakat adat Pemo dan juga kepada wartawan, Kamis, 21 Oktober 2010 lalu di Pemo.
Mengambil hati babi untuk diramalkan – SF
Sementara itu, Siprianus Se’a , putra asli Pemo disela-sela upacara ritual adat kepada wartawan Suara Flores dan kontributor RCTI mengatakan ramalan yang diramalkan oleh Mosalaki (tua adat) biasanya benar-benar terjadi dan sudah terbukti pada tahun-tahun sebelumnya baik ramalan untuk keadaan bangsa dan negara kita, ujarnya. Maka dari itu untuk mengetahui keadaan atau kejadian yang akan dialami nanti, komunitas masyarakat adat Pemo selalu melaksanakan upacara ritual adat setiap tahunnya, sehingga adat harus tetap dijaga dan dilestarikan, ujar Siprianus Se’a.
Ramalan Terbukti
Memang benar dan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun ternyata, Mosalaki (tua adat) dari daerah yang sangat termarjinalkan (Kampung Pemo) mampu membuktikan ramalan mereka untuk bangsa dan negara kita, bahwa apa yang mereka ramalkan pada Kamis, 21 Oktober 2010, dihadapan seluruh warga masyarakat adat Pemo dan wartawan, bahwa akan terjadi gejolak politik yang hebat, dan bencana alam besar, benar-benar terjadi dan terbukti pada Selasa, 26 Oktober 2010 dengan meletusnya Gunung Merapi dan bencana alam di Wasior dan Mentawai, ramalan yang benar-benar diluar dugaan serta akal dan pikiran manusia.
Dunia modern yang menjanjikan kemudahan sering membuat anak manusia terlena, lupa akan tradisi dan budaya tradisionalnya, segala sesuatu sepertinya menjadi sangat mudah karena memang teknologi mempermudah segala hikayat manusia. Tetapi, Pemo bersama pemimpin komunitas masyarakat adat, para Mosalaki (Tua Adat), Kepala Desa Efrinus Jendi Panda, Ketua BPD Xaverius Peme Rada, dan juga komponis adat Bapak Siprianus Se’a, tidak tega membuat adat hilang dari keseharian masyarakat, Joka Ju (Tolak Bala) contohnya. Selain acara-acara dan ritus-ritus adat, Are Wati, Manu Eko, Moke Boti (beras, ayam dan tuak) adalah sarana sakral dalam melestarikan adat.
Dalam pesta adat Joka Ju (Tolak Bala), Ana Kalo Fai Walu (komunitas masyarakat adat) sebagai penggarap lahan, wajib mboko satu tu gha tubu, (beras, ayam dan tuak) diantar kerumah adat, kemudian upacara Joka Ju (Tolak Bala) baru dilaksanakan, sehingga harapan Mosalaki dan Ana Kalo Fai Walu (tua adat bersama komunitas masyarakat adatnya) tentang Tedo Tembu Wesa Wela (tanam, tumbuh, hambur pun jadi) dapat tercapai.
Joka Ju (tolak bala), kata Siprianus Se’a adalah apresiasi pertanggungjawaban manusia dalam menggandakan talenta kehidupan yang dimaknai dengan “mboko satu tu gha tubu, wi ana kalo fai walu tedo. Tembu wesa wela…..” yang dapat diartikan, kami mempersembahkan kepadamu Allah dan leluhur kami, apa yang telah kami hasilkan, agar Allah dan leluhur menambahkan kami benih yang akan mendatangkan hasil berlimpah. Joka Ju (tolak bala) adalah momen konservasi makna sakralitas, spiritualitas dan moralitas dalam diri orang-orang Pemo, sebagaimana termuat dalam tuturan tentang sejarah asal-usul Pemo, dan syair-syair bermakna ajaran yang dilantunkan berulang-ulang dalam gawi (tandak) bersama antara Ana Kalo Fai dan Mosalaki (komunitas masyarakat adat dan tua adat) Pemo.
Perjalanan pulang kami sepertinya ditangisi langit. Gerimispun turun perlahan, bagaikan menangisi lunturnya adat dalam kehidupan manusia modern. Pemo hilang dalam kabut tipis dibelakang kami. Tetapi kenangan keakraban penduduknya dengan tradisi dan adat membuat kami berjanji akan kembali. Wajah dan senyum polos warga Pemo tak terusik diawal goresan berita ini. Dibelakang saya, Pak Edy, kontributor RCTI tampak berseri-seri dan tenggelam dalam nostalgia adat Pemo. Pemo telah membuat kehidupan kami semakin berwarna-warni. Ibarat kain sarung yang kami kenakan saat meliputi upacara pesta adat yang harmonis. (
Posted in ENDE LIO, katedral denpasar | No Comments »
Pa’a Loka Kelimutu antara Ritus Adat Baru dan Konflik Mosalaki
Januari 20th, 2011 by marcel
Secara etimologi, pa’a loka terdiri dari dua suku kata. Pa’a dan Loka. Pa’a dalam bahasa Lio, artinya simpan, menyimpan atau menaruh. Sedangkan loka artinya tumpah, menumpahkan atau juga membuang. Pa’a loka berarti menyimpan sesuatu lalu membuang. Pa’a loka berkaitan dengan makanan bagi orang yang telah meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib. Jadi pengertian pa’a loka adalah memberi makanan (sesajen) kepada arwah orang yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib.
Ritus seperti ini, terdapat hampir di seantero muka bumi. Tentu dengan nama yang berbeda. Memberi makanan kepada arwah orang yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib, lebih sebagai penghormatan dari orang yang masih hidup. Menghormati para leluhur atau sesuatu yang gaib itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat suku Lio.
Motivasi penghormatan yang demikian, sebetulnya berlandaskan pada pemikiran, bahwa arwah orang yang meninggal, terutama arwah para leluluhur, atau sesuatu yang gaib mempunyai pengaruh yang besar di depan Du’a Ngga’e (Wujud Tertinggi Suku Lio) terhadap orang yang masih hidup. Arwah para leluhur dan sesuatu yang gaib itu dianggap dan bahkan dilihat sebagai perantara manusia dan Du’a Ngga’e. Selain itu, arwah leluhur dan sesuatu yang gaib itu dilihat sebagai pemberi segala sesuatu yang baik kepada manusia.
Ini menunjukkan bahwa orang Lio umumnya lebih berorientasi pada corak dan model berpikir yang harmonis. Mereka selalu dan senantiasa menjaga harmonisasi hubungan antara dirinya dengan yang lain. Harmonisasi ini mengambil rupa dan bentuk Supra – Human. Artinya harmonisasi dipengaruhi oleh relasi antara manusia dan sesame, manusia dengan leluhur, manusia dengan alam dan manusia dengan yang hakiki (Du’a Ngga’e). Inilah makna terdalam dari pa’a loka.
Bagi masyarakat suku Lio, pa’a loka dilakukan ditempat-tempat tertentu dengan tujuan tertentu pula. Pa’a Loka kepada arwah para leluhur atau orang yang sudah meninggal dilakukan di wisu lulu (tempat khusus di rumah adat), tubu musu (tiang batu dan mesbah di pelataran tempat upacara adat), serta bhaku rate (peti berisi tulang belulang leluhur yang telah meninggal serta kubur). Pa’a loka bisa juga dilakukan di luar dari tempat yang disebutkan di atas. Tetapi, tempat yang dijadikan sebagai tempat Pa’a loka itu harus melalui mimpi atau petunjuk dari arwah leluhur, kepada salah seorang anggota keluarga. Jadi pa’a loka tidak dilakukan di sembarang tempat.
Selain tempat untuk pelaksanaan pa’a loka, tempat untuk menyimpan makanan yang akan digunakan untuk pa’a loka juga tempat khusus. Dulu dan bahkan mungkin sampai sekarang, orang masih menggunakan pane (wadah yang terbuat dari tanah liat berbentuk piala), kea (tempurung kelapa) untuk menyimpan makanan bagi arwah leluhur atau seuatu yang gaib. Sedangkan untuk minimnya, menggunakan tobho (tempurung kelapa ukuran kecil).
Orang yang bertugas memberi makanan (Pa’a loka) juga bukan orang sembarangan. Misalnya pada saat upacara adat, hanya Mosalaki Pu’u yang berwenang melalukan Pa’a Loka. (Di wilayah hukum adat Woloara /Moni) selain mosalaki pu’u, Mosalaki Koe Kolu juga punya hak untuk Pa’a loka).
Pa’a loka tidak hanya dilakukan pada saat upacara adat, seperti tau nggua nama bapu, perbaiki tempat upacara adat, perbaiki rumah adat, tetapi juga dilakukan di luar acara adat. Misalnya, pesta perkawinan, anggota keluarga mau merantau, anak mau sekolah di luar darah dan sebagainya. Pada acara atau kegiatan sepert ini, pa’a loka dilakukan oleh penyelenggara pesta. Pa’a loka juga tidak dilakukan di wisu lulu rumah adat, tetapi hanya di tubu musu dan bhaku rate. Ini kalau penyelenggara pestanya mosalaki pu’u. Kalau bukan mosalaki pu’u atau masyarakat biasa, pa’a loka hanya dilakukan di bhaku rate. Pada saat pa’a loka, orang yang pa’a loka menyampaikan sesuatu kepada para leluhur atau kepada sesuatu yang gaib. Penyampaian atau lebih tepatnya permohonan disesuaikan dengan tujuan pa’a loka.
Adat Baru
Menarik untuk didiskusikan tentang Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di Kelimutu. Pati ka Du’a Bapu Ata Mata di Kelimutu, sama maknanya dengan Pa’a loka. Kegiatan ini disponsori bahkan didanai oleh Balai Taman Nasional Kelimutu. Untuk menyukseskan kegiatan tersebut, Balai Taman Nasional Kelimutu, bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende. Kegiatannya sudah berlangsung tanggal 14 Agustus 2009 lalu. Bahkan Balai Taman Nasional Kelimutu dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende berencana kegiatan Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di Kelimutu menjadi agenda, program dan bahkan proyek tetap. Tahun ini belum diketahui apakah jadi dilaksanakan atau tidak.
Menyimak tulisan Yudit Rae staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende pada situs jejaring sosial facebook tanggal 14 pebruari 2010, dikatakan, bahwa penyelenggaraan Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di Kelimutu dilandasi pertimbangan telah terjadi musibah yang menimpa wisatawan asing dan local serta penduduk di sekitar kawasan danau Kelimutu dalam lima tahun terakhir ini.
Ini terkesan, berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa pengunjung dan juga warga lokal, karena murka arwah leluhur di kelimutu. Seolah-olah, mereka yang tertimpa musibah itu sebagai tumbal, hanya karena manusia yang masih hidup tidak memberi makan kepada arwah leluhur di Kelimutu.
Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, Anna Any Labina, seperti dilansir situs Pemerintah Kabupaten Ende, menyatakan, tujuan dari kegiatan Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata di Kelimutu untuk memberdayakan kembali dan melestarikan adat dan budaya yang sudah mulai ditinggalkan. Pernyataan ini mengesankan masyarakat di sekitar kawasan kelimutu tidak berdaya. Apakah memang demikian kenyataannya? Apakah setelah hampir setahun, masyarakat sudah berdaya? Berdaya dari sisi apa? Apakah pati ka merupakan sebuah program pemberdayaan masyarakat?
Pertanyaan lanjutan, apakah benar masyarakat di sekitar kawasan Kelimutu sudah mulai meninggalkan adat dan budaya pa’a loka atau Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata? Sehingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende serta Balai Taman Nasional Kelimutu merasa sangat perlu menggelar acara Pati Ka Du’a Bupu Ata Mata di Kelimutu.
Pati ka du’a bapu ata mataata menurut saya masih tetap dipegang teguh sampai saat ini. Bahkan orang Lio yang di tempat perantauan pun masih tetap melakukan pati ka ata mata, bila ada acara atau pesta,atau ada peristiwa tertentu. Sehingga penilaian Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende bahwa masyarakat mulai meninggalkan adat budaya pati ka du’a bapu ata mata adalah keliru untuk tidak mengatakan salah. Pati ka atau pa’a loka dilakukan di kampung halamannya masing-masing, bukan di Kelimutu.
Pati ka atau pa’a loka di Kelimutu, meupakan peristiwa baru yang sengaja dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bersama Balai Taman Nasional Kelimutu. Karena peristiwa itu baru, sehingga belum bisa dilihat sebagai sebuah ritus adat. Benar bahwa menurut kepercayaan orang Lio, arwah orang meninggal berkumpul di Kelimutu, tetapi untuk pati ka atau pa’a loka, dilakukan di kampung halamannya masing-masing. Karena itu, patu ka dua bapu ata mata di kelimutu merupakan sebuah ritus adat baru.
Mosa laki Woloara pernah melakukan pa’a loka atau pati ka, tetapi bukan di puncak gunung kelimutu, seperti yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende bersama Balai Taman Nasional Kelimutu. Lokasi pa’a, loka itu di Pere Konde, sekitar dua kilo meter dari puncak Kelimutu. Pati ka atau pa’ loka di Pere Konde oleh mosa laki Woloara tidak dilakukan setiap tahun. Pa’a loka hanya dilakukan untuk peristiwa –peristiwa tertentu. Misalnya kalau ada yang hilang atau tersesat di Kelimutu. Atau ada yang jatuh di salah satu danau. Pa’a loka itu baru dilakukan atas permintaan keluarga korban, bukan atas inisiatif mosalaki Woloara.
Konflik Fisik
Berkaitan dengan program pati ka di Kelimutu, nampaknya mesti dipertimbangkan kembali dampak positif – negatifnya. Justru fenomena yang terjadi sejak sebelum acara pati ka itu berlangsung, sudah muncul konflik kepentingan antara mosalaki Woloara dan Mosalaki Pemo. Mosalaki di kedua kampung itu mengklaim diri sebagai yang paling berwenang melakukan pati ka atau pa’a loka. Oleh karena itu, agar tidak timbul hal – hal yang tidak dinginkan antara mosalaki di kedua kampung itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende serta Balai Taman Nasional Kelimutu mempertimbangkan kembali. Jika tidak ini sama artinya, Disbudpar Ende dan BTNK memberi parang, tombak dan anak panah kepada mosalaki di kedua kampung itu untuk saling membunuh.
Selain itu, perlu dipertimbangkan kembali ritus pati ka du’a bapu ata mata di kelimutu, karena program itu tidak langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Jika Disbudpar Ended an Balai Taman Nasional Kelimutu ingin menghidupkan lagi upacara adat yang sudah mulai ditinggalkan seperti beberapa Nggua Ura, maka perlu programkan desa adat. Selain itu, Disbudpar Ende juga perlu memikirkan dana stimulan untuk membangun kembali atau memperbaiki rumah adat yang rusak. Dengan begitu beberapa nggua ura yang sudah tidak jalan, dapat dijalankan kembali. ****
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, padi dan sejumlah tanaman biji-bijian adalah tanaman liar musiman atau tahunan yang berasal dari Cina tengah (Bellwood, 2000: 353). Kajian varietas modern memperiihatkan bahwa padi memiliki kepekaan terhadap panjang-pendeknya siang (photoperiod) dan kekuatan sinar matahari (0ka, 1988, dalam Bellwood, 2000). Dengan demikian pembudidayaannya, khususnya penanaman disesuaikan dengan kondisi klimatologisnya. Selain dimensi alam, bagi komunitas peladang Lio-Ende, penanaman padi khususnya, dan semua tanaman hortikultura asli umumnya, tidaklah dilakukan begitu saja ketika datang musim hujan. Berdasarkan amanat di ataslah mereka selalu taat melakukan ritual-ritual dalam lingkaran hidup perladangan, seperti juga dalam lingkaran hidup manusia sejak lahir, dewasa, menikah, dan meninggal kendati ritual dalam kehidupan manusia dewasa ini sudah semakin sirna.
Dalam masyarakat adat dan kebudayaan Lio-Ende, ritual adat, baik dalam lingkaran hidup manusia maupun lingkaran hidup perladangan, ritual sebagai konsep budaya diekspresikan atau diungkapkan secara verbal nggua bapu. Mbete et.al (2006) secara singkat telah memperkenalkan dan memerikan sejumlah ritual, upacara, dalam kehidupan masyarakat Etnik Lio-Ende. Dalam lingkaran dan peredaran tahun adat, tata waktu juga ada dalam kalender adat dengan pilahan waktu dalam satuan bulan. Pembagian waktu dengan satuan bulan itu tetap berkaitan dengan kosmologi mereka, dengan alam (tana watu), musim hujan dan musim panas sehingga bulan dan matahari tetap menjadi patokan waktu.
Kendati banyak perubahan, pada dasarnya pelaksanaan ritual perladangan masih tetap ada dalam kehidupan perladangan masyarakat Lio-Ende. Sumber dan landasan ideologi kolektif mereka, demikian juga
amanat leluhur mereka tetap dimiliki dan diyakini, setidak-tidaknya oleh generasi tua dan kalangan elite tradisional yakni para Mosalaki. Landasan ideologis ritual perladangan khususnya memang berkaitan dengan filsafat hidup yang bersifat kosmologis, Alam, khususnya lahan ‘tana watu’ dalam arti khusus adalah kekuatan dan sumber daya yang harus dipelihara dan dihormati, apalagi dalam persepsi masyarakat setempat, Tana-Watu adalah simbol atau tanda persekutuan yang mesrah antara tana ‘tanah’ dan watu ‘batu’, masing-masing sebagai simbol perempuan (tana) dan laki-laki (watu) dalam paduan Tubumusu Lodonda. Itulah juga sebabnya, tanah atau lahan garapan dipelihara sebaik-baiknya. Alam dengan sumberdaya adalah kekuatan yang bersifat “adikodrati”, melampaui kekuatan manusia dan merupakan pancaran kekuatan dan kemahakuasaan Du’a Ngga’e, Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana. Selain berkaitan dengan amanat dalam mitos Ine Pare, ritual perladangan justru berkaitan dengan kedahsyatan kekuatan dan kekuasaan Du’a Ngga’e dengan sejumlah sapaan lokal. Dalam konteks ini, setelah penghormatan dan pemeliharaan keserasian hubungan dengan Sang Khalik, Du’a Ngga’e, dan dengan para leluhur, Bmbu Mamo Ku Kajo dalam dimensi vertikal, di sisi lain pemeliharaan dan pemulihan hubungan dengan sesama dalam dimensi horizontal (soliditas, integritas, dan solidaritas kelornpok kekerabatan), merupakan makna dan fungsi dasar ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional Lio-Ende.
Ritual perladangan berlangsung beberapa kali dalam setahun, berawal dari pembukaan hutan untuk ladang baru (ngeti uma), penolakan bala (hama dan penyakit, joka ngola), penanaman perdana, panen perdana, syukur keberhasilan panen, yang di antaranya juga diselingi dengan ritual-ritual khusus yang bervariasi antarsubetnik atau antarwilayah tanah ulayat. Berkaitan dengan mitos di atas, makna, prosedur, dan sarana atau perlengkapan utama memang harus dipenuhi dan prodedurnya dipatuhi. Sehubungan itu, batu kesuburan sebagai penerusan tradisi megalitik dan penggunaan emas, merupakan keharusan dalam ritual perladangan itu. Prosedur dan tata cara memang dipedomani oleh para mosalaki sesuai dengan struktur dan fungsi masing-masing. Keabsahan ritual justru diprasyaratkan dengan penggunaan benda-benda tersebut selain tata urut yang baku.
Posted in ENDE LIO | No Comments »
Pelataran Suci di Tengah Kampung Suku Lio
Januari 20th, 2011 by marcel
Hanga (Kanga) adalah sebidang halaman berbentuk lingkaran yang terbuat dari susunan batu kira-kira setinggi satu meter. Lingkaran itu bergaris tengah sekitar sepuluh meter. Susunan dinding batu itu dibeberapa kampung terputus oleh beberapa tangga batu, sedangkan ditempat lain tangga-tangga itu lansung bersandar pada dinding hanga. Salah satu dari pintu masuk kehanga tersebut mengarah kerumah Mosalaki, atau Riabewa atau pendiri kampung atau juga pemilik tanah tertentu yang dikhususkan untuk mendirikan rummah disitu. Dikampung-kampung lain, susunan batu yang berbentuk lingkaran seperti itu berada diatas sebidang tanah yang berbentuk segi empat dengan dinding batu disekitarnya, atau terdapat juga dikampung-kampung lain dua lingkaran, satu diatas yang lain, dimana ukuran lingkaran yang berada dilapisan bawah lebih besar.
Biasanya Heda (Keda) berada disebelah kanan dari rumah mosalaki atau pendiri kampong, sedangkan Bhaku berada disebelah kiri dari rumah tersebut. Ditengah lingkaran tersebut dipasang sebuah Dissolith yaitu sebuah batu lonjong yang tegak, dan disampingnya ditempatkan sebuah batu kecil. Kedua batu tersebut nampaknya seperti seorang ibu dan anaknya. Dissolith itu namanya Musumase atau Tubumusu. Didepannya terdapat sebuah meja batu diatas empat kaki. Di beberapa kampung sering terdapat sebuah tiang kurban dari kayu yang ditancapkan disampingnya yang dinamakan Atu atau Atu Ndopo. Ada juga yang mengganti tiang kayu dengan sebatang bambu. Diatas Atu tersebut, diletakan sebuah batu ceper kecil sebagai tempat untuk membawah persembahan bagi Tana watu dan Du’a Ngga’e. Selain Musumase yang besar yang berada ditengah lingkaran, dikampung-kampung lain terdapat lagi beberapa dissolith kecil didekat dinding lingkaran, yang dinamakan Mase. Didalam, dibawah dan disamping dinding lingkaran itu orang kaya, orang terkemuka dan tua-tua adat dikuburkan.
Kalau tanah tempat akan didirikan hanga (kanga) tersebut miring, maka pertama-tama tempat itu harus diratakan. Pembuatan lingkaran dinding batu yang terbagi atas empat bidang, dilaksanakan berdasarkan musyawara antara tua-tua adat yang berasal dari empat kelompok masyarakat yang masing-masingnya mempunyai bagian dari hanga tersebut. Orang-orang terkemuka dari kelompok tersebut kemudian akan dikuburkan disitu. Setelah perembukan bersama, semua orang berarak menujuh tempat pengambilan batu. Sebelum mulai memecahkan batu, mereka mereciki dinding batu tersebut dengan darah babi sembelihan, supaya pada waktu mereka memecahkan batu tersebut, mereka dapat memperoleh batu ceper yang baik. Batu-batu ceper tersebut akan digunakan sebagai tembok dinding hanga. Sedangkan Musumase (Batu lonjong) harus lebih dahulu diperciki dengan darah kerbau atau sekurang-kurangnya darah babi sebelum orang memikulnya kekampung.
Pada waktu hendak dipikul kekampung, Musumase harus dibungkus dengan kain selendang (Dalam bahasa Lio disebut “Luka”) atau sarung (Lawo atau Ragi) yang terindah dan terbaik. Orang meletakan musumase diatas palangan bambu kemudian memikulnya hingga sampai kekampung. Sepanjang perjalanan kekampung, orang-orang harus bernyanyi dan menari sesuai tradisi setempat. Seorang wanita menari ditengah-tengah para penari lain dalam arakan tersebut sambil memegang sebuah pedang atau parang. Setibanya dikampung, sebuah upacara besar (Semacam pesta) dirayakan dengan penyembelihan hewan dan sebagainya. Semua orang yang hadir disitu mendapat makanan dan minuman. Makanan yang dihidangkan adalah nasi, daging, minuman arak serta siri pinang. Sementara upacara berlangsung, orang-orang terus menari sedangkan mosalaki serta petinggi adat lainnya duduk disekeliling batu yang baru dipikul tersebut.
Sebelum batu tersebut didirikan ditengah-tengah hanga (kanga), terlebih dahulu orang harus menggali lubang dan membuat dasar yang kuat. Kedalam lubang itu, menurut kebiasaan masyarakat setempat yang berbeda-beda, orang harus menaruh empat butir beras, yang lain menaruh sepotong besi dan sebuah batu hitam (Granit) agar hanga (kanga) menjadi kuat seperti besi dan keras seperti batu, atau seorang budak, atau seorang anak yang diculik dikuburkan hidup-hidup didalam lubang itu. Biasanya heda (keda) pun dibangun atas dasar serupa.
Umumnya pada jaman dahulu kala, tak sulit memperoleh beras, batu, besi dan bahkan seorang hamba. Tetapi bagaimana caranya mereka mendapatkan seorang anak ?? Beginilah caranya, pertama-tama, para sesepuh adat duduk berkumpul untuk berembuk tentang cara menculik seorang anak kecil. Setelah sepakat, mereka menugaskan seseorang untuk melakukan tugas penculikan tersebut. Orang tersebut pergi ketempat yang jauh dengan membawah kue,pisang atau makanan yang enak. Dengan senang hati dia menyelinap dan menunggu dikampung lain sampai seorang anak kecil datang mendekat. Setelah menemukan seorang anak kecil, orang itu pura-pura menawarkan bahan makanan tadi dan langsung menangkapnya dan membawahnya pergi. Anak itu lalu dipelihara dengan baik agar ia melupakan kampong halamannya, orang tuanya, dan supaya ia tidak menangis sampai saat musumase didirikan.
Perayaan pendirian musumase berlangsung beberapa hari. Pada awal dari pesta itu, api dinyalakan disamping hanga, api itu tidak boleh padam selama pesta itu berlangsung. Sementara itu, gong dan gendang (Tambur) dibunyikan terus menerus, orang-orang bermain, menari sambil melompat kesana kemari. Mereka juga mendapatkan makan dan minum berulang kali. Semua orang yang hadir dipesta tersebut mengenakan pakaian yang bagus. Tua-tua adat misalnya, mengenakan pakaian yang indah, dengan perhiasan kalung, emas, anting-anting, gantungan dada dan sebagainya.
Ketika tiba saatnya musumase didirikan, mereka menggali sebuah lubang yang cukup dalam dan didasarnya diletakkan sebuah batu ceper. Anak yang diculik tadi dijemput ketempat tersebut dan ditempatkan hidup-hidup didalam lubang yang sudah disiapkan itu. Ia mendapatkan sedikit nasi, emping, kue,dan sepiring daging. Anak itu dirayu dan ditipu supaya ia tidak mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Sementara ia menerima pemberian itu dengan rasa gembira hati, tiba-tiba sebuah batu ceper besar dilemparkan keatasnya dan anak tersebut dikubur tatkala masih hidup. Sementara anak itu tertindis dan terkubur disitu, orang-orang yang hadir disitu mulai menari sambil melompat-lompat dengan liarnya sampai debu beterbangan hinga mereka hamper tak bias melihat satu sama lain. Hanga sekarang dianggap bhisa gia artinya sangat keramat; hanga menjadi jaminan kesejahteraan dan berkat bagi seluruh masyarakat dikampung itu. Para pemuka adat secara khusus sangat mengharapkan berkat dan anugerah yang paling besar dari hanga tersebut.
Sesudah itu, sebuah perayaan peresmian diadakan lagi, yaitu sebuah kesempatan dimana mereka menyembelih banyak kerbau, kuda, babi, anjing dan lain-lain untuk pesta santapan besar. Sementara itu, persembahan berupa daging babi, emping, pisang, siri pinang dan tembakau dibawahkan para sesepuh adat mengucapkan suasasa (Doa dalam bahasa Lio) yang berbunyi:
Kami wela dowa wawi ina, - Kami sudah menyembelih babi ini,
Tau lobo kau ina. – Untuk meresmikanmu
Wawi ate ji’e, - Semoga hati babi ini baik,
Jala molo we’e. – Lipatan lurus.
Kemudian mereka meletakan daun pulu keatas babi tersebut dan memeriksa hatinya. Kalau hati babi itu baik, lipatannya lurus; tanda itu menjanjikan kebahagiaan dan keuntungan, kama mereka akan memaklumkannya dengan gembira. Tetapi dikampung atau tempat lain, barang lain lagi yang dikurbankan: kepala kerbau, kepala kuda, daging babi, dan arak yang diisi dalam seruas bambu untuk libasi. Bahan persembahan ini ditaruh diatas batu ceper di musumase.
Hanga dan heda adalah tempat yang paling suci diwilayah kebudayaan orang-orang Lio. Orang Lio kerap berkata: “Keli wolo kita, olanegi kita leisawe”, (Gunung dan bukit kita adalah kekuatan hidup kita semua). Peristiwa-peristiwa yang paling penting dalam hidup orang Lio, selalu diurus dan dirayakan ditempat itu. Misalnya, pada waktu musim kering dan peceklik yang berkepanjangan, mereka membawahkan doa dan persembahan disana. Untuk maksud ini, tua-tua adat berkumpul di hanga, menyembelih seekor hewan kurban, mencampuri banyak air, tanah dan kotoran babi dan mulai melempar satu sama lain dengan campuran tersebut. Perbuatan ini akan menarik hujan dari langit. Juga saat-saat susah, dalam peperangan, wabah penyakit, dan penyakit pada umumnya, khususnya penyakit yang menimpa tua adat dan anak-anaknya, mereka selalu mencari perlindungan di hanga dan membawahkan persembahan.
Kebanyakan pesta-pesta adat dirayakan di hanga dan tak ada pesta tanpa tari-tarian. Karena tarian dianggap sebagai tindakan religius; dan karenanya, tempat pelaksanaannya adalah di hanga. Selain itu, hanga berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi kepentingan-kepentingan bersama atau kepentingan yang bersifat pribadi. Pada waktu petemuan itu, mosalaki sebagai pemimpin adat duduk di musumase, sedangkan sesepuh adat yang lain duduk disekeliling susunan lingkaran batu atau diatas kubur-kubur. Menurut keterangan beberapa narasumber, keadaan hanga harus selalu bersih, baik dan kuat supaya dapat memberihkan kekuatan magis pada kampung itu. Akan tetapi, jaman sekarang ini, kebanyakan hanga terlihat kotor dan amat tidak terawat. Terimakasih
Posted in ENDE LIO | No Comments »
Danau Kelimutu Berubah Warna, Bakal Ada Apa Ya?
Januari 19th, 2011 by marcel
Air Danau “Triwarna” Kelimutu, di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur berubah warna. Perubahan warna itu terjadi pada kawah Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri Koo Fai. Tiwu Ata Polo yang biasanya berwarna cokelat tua kehitaman kini telah berubah warna menjadi hijau tua, sedangkan Tiwu Nua Muri Koo Fai dari hijau muda berubah menjadi hijau kebiru-biruan. Sementara satu danau yang lain, Tiwu Ata Mbupu warnanya masih seperti biasa, hijau tua kehitaman.
Menurut Koordinator Teknis Balai Taman Nasional (BTN) Kelimutu Dwi Sutantohadi, Kamis (21/5), perubahan warna danau itu telah terjadi sejak Desember lalu.
“Kejadian seperti ini merupakan fenomena alam, jadi jangan dikaitkan dengan hal-hal mistik. Perubahan warna danau karena proses unsur kimia tanah yang merupakan bagian dari aktivitas gunung api,” kata Dwi.
Dwi menegaskan hal itu karena ada kecenderungan fenomena alam seperti ini bagi sebagian masyarakat Ende-Lio diyakini sebagai tanda atau peringatan alam yang harus diperhatikan, misal akan terjadi bencana atau juga dikaitkan dengan suksesi kepemimpinan seperti pemilihan presiden Juli nanti.
Pasalnya pada Mei 1997 terjadi perubahan warna, Tiwu Ata Polo dari sebelumnya cokelat maupun hijau tua menjadi merah hati, Tiwu Ata Mbupu dari cokelat tua dan hitam berubah menjadi hijau kecokelatan, sedangkan Tiwu Nua Muri Koo Fai dari biru, maupun hijau muda berubah menjadi putih telur asin. Kejadian itu lalu dikait-kaitkan sebagai tanda perubahan besar kejadian tahun 1998 lengsernya Presiden Soeharto.
Posted in kelimutu | No Comments »
Pati Ka Ata Mata, Ritual di Puncak Kelimutu
Januari 19th, 2011 by marcel
Suatu pagi, cuaca mendung dan diguyur hujan gerimis. Namun, ketika matahari mulai meninggi, cuaca berubah cerah dan semarak, apalagi dihiasi rerumpunan arngoni (Vaccinium varingiaefolium), tumbuhan endemik yang tumbuh subur di sekitar puncak Gunung Kelimutu.
Tanaman arngoni yang telah berbuah segar dan masak juga seakan menyambut hangat kehadiran para mosalaki pu’u (tetua adat) hari itu yang memenuhi areal helipad di zona inti kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sambil menunggu ritual dimulai, para mosalaki pun memanfaatkan waktu dengan melihat-lihat keindahan panorama tiga kawah danau dengan air berbeda warna, tiada duanya di dunia.
Kawasan Taman Nasional Kelimutu secara administratif berada dalam wilayah 5 kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko.
Para mosalaki juga tak bosan-bosannya menatap rumpun arngoni yang telah masak buahnya, kecil berwarna hitam. Mereka pun begitu hati-hati ketika hendak menyentuhnya karena buah arngoni juga diyakini sebagai makanan para dewa atau arwah leluhur di Danau Kelimutu.
Sekitar pukul 11.00 Wita, ritual baru dimulai. Hari itu untuk pertama kalinya di puncak Danau Kelimutu, dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut, digelar Pati Ka Ata Mata, upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.
Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tumpah ruah di area helipad. Mereka tak ingin ketinggalan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Begitu pula masyarakat sekitar dan juga kalangan media.
Prosesi ritual diawali sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional diberi sesaji untuk dibawa ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan berupa nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.
Sembilan mosalaki pu’u itu secara bersama menuju tugu batu dan bersama-sama pula meletakkan sesaji di tugu tersebut, yang artinya dari sembilan mosalaki itu kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.
”Ritual adat ini diikuti oleh seluruh komunitas adat di kawasan Lio. Sekaligus ritual ini merupakan aset seni budaya daerah dan juga nasional yang patut dilestarikan. Ritual ini juga dapat mempersatukan suku-suku Lio,” kata mosalaki Detusoko, Emanuel K Ndopo.
Wilayah Kabupaten Ende terdiri dari dua suku asli, yakni Ende dan Lio. Kawasan suku Ende dominan di bagian barat ke selatan, sedangkan suku Lio dari Kota Ende ke timur hingga utara.
Makan leluhur

Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, kemudian para pengunjung, oleh mosalaki, ditawari pula untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama dengan para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, tari bersama para mosalaki tersebut dengan mengelilingi tugu batu.
”Peristiwa ini suatu kejutan bagi saya. Saya juga sangat beruntung karena saya tidak mengetahui sama sekali akan digelar ritual adat yang pertama kalinya di sini. Semula saya bermaksud berekreasi saja,” kata Philippe Cazaux, wisatawan asal Perancis, yang juga berprofesi sebagai guru di negaranya.
Sejumlah mosalaki mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur - selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Pasalnya, tahun 1996 seorang turis laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Pada akhir 2008 juga ditemukan tewas seorang warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, di danau warna hijau muda atau danau tempat arwah anak muda (Tiwu Nua Muri Koo Fai). Semua jenazah korban tetap tinggal di dalam danau karena sulitnya medan sehingga jenazah tidak dapat dievakuasi.
Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.
Tiga kawah

Di puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga kawah danau, selain Tiwu Nua Muri Koo Fai, adalah Tiwu Ata Polo yang kini berwarna hijau tua (sebelum Desember 2008 masih berwarna cokelat kehitaman), yang diyakini sebagai tempat berkumpul orang jahat. Danau ketiga, Tiwu Ata Mbupu, berwarna tua hijau kehitam-hitaman yang merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua.
Itu sebabnya masyarakat setempat menilai begitu sakral dan keramat areal puncak Gunung Kelimutu. Mereka juga tidak berani berbuat yang aneh- aneh atau sembrono di situ. Letak Danau Kelimutu sekitar 55 kilometer arah timur Kota Ende.
”Kegiatan ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ende sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku. Kini digelar upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin tiap tahun sekali dan tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina.
Fransiskus Lasa, Staf Ahli Bupati Ende Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, mengemukakan, ritual Pati Ka Ata Mata diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka dari sektor pariwisata.
Setiap suku selesai

Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Soebiantoro menyatakan, diharapkan Pati Ka Ata Mata diadakan setelah semua acara adat serupa di setiap suku selesai digelar sehingga upacara adat di Danau Kelimutu itu benar-benar sebagai rangkaian ritual puncak atau akhir.
Sementara itu, ketika melakukan kunjungan kerja ke Ende pada 10-16 Agustus, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Bakri mengharapkan ritual tersebut turut meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di sekitar Danau Kelimutu. Hal itu perlu difasilitasi secara serius oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat.
”Mereka harus melakukan komunikasi yang baik dengan para pengusaha biro perjalanan dan wisata serta hotel-hotel sehingga agenda tahunan ritual adat ini bisa turut dipromosikan ke luar. Warga sekitar kawasan juga perlu dibina sehingga mereka benar-benar dapat menerima, menyambut, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan,” kata Bakri.
Dia juga menyinggung keberadaan kebun hortikultura milik warga di sekitar kawasan Danau Kelimutu yang dapat dimanfaatkan sehingga wisatawan mancanegara selain melihat-lihat Danau Kelimutu juga dapat diarahkan untuk menikmati aneka buah dan sayuran milik warga.
”Kesenian setempat juga harus digalakkan, apakah itu seni tari maupun seni musik yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mengapa kesenian di Jawa atau Bali hingga kini tidak mati? Sebab, kesenian di kawasan itu dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakatnya,” kata Bakri.
Upacara adat yang digelar memang masih banyak terdapat kekurangan, salah satunya ketidaktepatan waktu pelaksanaan. Jadwal semula pukul 08.00, ketika masyarakat maupun wisatawan antusias memadati lokasi pada pagi itu, ternyata ritual baru digelar pukul 11.00.
Yang disayangkan pula, ritual di puncak gunung itu relatif singkat. Semestinya rangkaian upacara adat mulai dari pemotongan hewan kurban, memasak, hingga persiapan sesaji dapat dikemas menjadi satu rangkaian wisata budaya menarik yang dapat diikuti masyarakat luas.
Selain itu, segala atribut yang berhubungan dengan pakaian adat tradisional yang dikenakan mosalaki dalam ritual itu, seperti destar, sarung, dan baju dari kain tenun ikat tradisional, semestinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan menjualnya kepada wisatawan. Pihak Taman Nasional Kelimutu atau Pemkab Ende dapat memfasilitasi dengan menyediakan tempat penjualannya.
Posted in ENDE LIO | No Comments »
Tinjauan Budaya Lio-Ende-Flores-NTT tentang Bumi
Januari 5th, 2011 by marcel
Tanah, udara, api, dan air tak dapat dilepaspisahkan dari keberlangsungan hidup tumbuhan, hewan, dan manusia. Keempat unsur material tersebut an sich tidaklah cukup untuk memahami tentang pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Tetapi, keempat material itu membutuhkan keterangan sebagai berikut: tanah yang subur, udara yang bersih, api yang tidak kebesaran, dan air yang sehat bila orang hen

No comments:

Post a Comment